Cuma Khayalan

Semuanya berawal dari stasiun Duivendrecht, Belanda. Ketika itu aku baru saja tiba di bandara Schipol dari tanah air, dengan tujuan ke kota Arnhem. Untuk mencapai kota itu, dari Schipol aku perlu berganti kereta sekali di stasiun Amsterdam. Namun karena masih dalam kondisi lelah dan harus menyesuaikan keadaan, aku kebablasan hingga stasiun Duivendrecht. Terpaksa aku turun di situ dan bertanya pada seorang ibu-ibu yang ada di situ. Ia menerangkan bahwa tidak perlu kembali ke stasiun Amsterdam untuk ke Arnhem, karena kereta ke Arnhem berikutnya juga melewati stasiun ini.
Jadilah aku menunggu, sambil berkeliling mencari money changer dan minuman (aku haus bukan main). Dari tanah air aku hanya membawa 150 gulden, sehingga aku harus menukarkan dolar amerikaku dengan segera. Ternyata tidak ada money changer di situ, sehingga aku memutuskan untuk naik ke peron dan menunggu kereta.
Stasiun sepi, hanya ada 4-5 orang menanti di atas, mungkin karena hari itu hari minggu, sehingga tidak banyak orang yang bepergian. Seorang wanita berkulit hitam tampak membawa belanjaan banyak. Seorang bapak tua membaca koran di bangku terdekat. Seorang pemuda berdiri agak jauh sambil memasukkan tangannya ke dalam baju hangatnya. Sungguh biasa-biasa saja dan amat sepi. Aku berdiri saja dekat tangga, karena malas menyeret-nyeret barang bawaanku yang lumayan banyak.
Kulihat seorang pemuda lain naik datang dari kejauhan. Ia tampak lusuh dan mengamati orang-orang yang ada di peron. Setelah beberapa jenak, ia menghampiri pemuda yang pertama dan terlihat bercakap-cakap sejenak. Pemuda yang pertama tampak segan dan mengeluarkan uang logam dari kantongnya dan memberikannya pada pemuda lusuh itu. Setelah mendapat apa yang tampaknya ia cari, pemuda lusuh itu melanjutkan berjalan dan melihat aku dari kejauhan. Sebelum berangkat ke negeri Belanda, beberapa orang memang memperingatkan aku supaya berhati-hati pada copet-copet yang berkeliaran di stasiun-stasiun kereta api khususnya Amsterdam. Mungkin yang aku lihat sekarang ini salah satu dari mereka.
Ia menghampiriku, seperti yang sudah aku duga. Ia tersenyum dan menyapaku dengan sebuah kalimat dalam bahasa Belanda, yang tentu saja aku tak mengerti. Memang aku kemari untuk mengikuti kursus 6 bulan mengenai Sejarah Eropa yang diadakan dengan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya, sehingga aku tidak merasa perlu untuk mengambil kursus bahasa Belanda sebelumnya. Lagipula Netherland Education Center di Jakarta telah menginfomasikan kepadaku bahwa aku tak akan mengalami kesulitan di Belanda jika aku menguasai bahasa Inggris. Dan memang sejauh ini tampaknya setiap orang yang kutemui bisa mengerti bahasa Inggris.
“Maaf, saya tidak bisa bahasa Belanda” kataku dalam bahasa Indonesia. (Aku menengadah karena ia 8 sampai 12 senti lebih tinggi.) Mungkin kulakukan itu karena iseng saja. Tahu kalau aku tidak bisa bahasa Belanda, pemuda itu kelihatan senang. Dan segera ia menggunakan bahasa Inggris.
“Bahasa Inggris mungkin? Ha, kau bisa bahasa Inggris rupanya. Bukan orang sini?”
“Bukan.”
“Ha! Selamat datang kalau begitu. Pertama kali di Belanda?”
“Ya.”
Mungkin seharusnya aku berbohong dengan mengatakan bahwa aku bukan pertama kalinya ke negeri ini. Tapi buat apa? Toh ia tidak membuat aku takut. Bagiku orang bule hanya cocok untuk jadi turis, bukan preman seperti yang satu ini. Kalau preman Medan atau Ambon, ya aku takut, tapi kalau preman bule? Aku pikir kalau aku biasa ke mana-mana di jalanan kota Jakarta yang lebih keras tanpa rasa was-was, kenapa justru di negara yang “lebih maju” ini aku harus takut?
“Begini kawan,” sambungnya, “saya sudah sehari tidak makan. Bisakah kamu memberi saya satu atau dua gulden untuk membeli kopi agar badan ini hangat?”
“Bukannya pemuda di sana tadi sudah memberi kamu uang? Saya baru tiba, hanya uang inilah yang saya miliki.” Kataku sambil membuka dompet dan menunjukkan uang 500 rupiah. Uang dolar tidak aku taruh di dompet, melainkan di kantong rompi yang aku kenakan.
“Buat apa uang ini? Benarkah kamu tidak punya gulden sama sekali?”
“Tidak.”
“Baiklah, tapi kalau kamu bohong, awas, saya akan kembali.” Katanya mengancam.
You can go to hell.” Kataku.

Mungkin keberanianku membuat ia berpikir dua kali untuk meneruskan niatnya, dan ia pergi menuruni tangga. Bagaimanapun juga tidak seharusnya aku ucapkan “go to hell” yang hanya akan membuatnya marah dan penasaran. Dan entah kenapa aku punya perasaan ia akan kembali. Aku dekati wanita dengan belanjaan banyak itu,
“Selamat siang, apakah ibu tahu di mana pos polisi terdekat? Saya merasa tidak aman di sini.”
Ia melihat kejadian tadi sehingga mengerti, ia menjawab,
“Sayangnya kantor polisi ada di luar stasiun, kamu harus keluar dahulu.” (Padahal kereta datang 10 menit lagi.) “Sebaiknya kamu lapor kejadian tadi, karena biasanya mereka tidak berhenti sebelum mendapat yang mereka cari.” Katanya. Aku mengucapkan terima kasih dan kembali ke barang-barang ku. Dari bahasa tubuhnya tampak bahwa wanita itu tidak ingin aku di dekatnya, tentu karena ia juga takut terbawa-bawa.

Aku malas pergi ke kantor polisi dan siap menghadapi apa yang akan terjadi. Dan benar perkiraanku, pemuda lusuh tadi datang bersama seorang temannya yang bertubuh lebih tinggi lagi, berbaju hitam dengan wajah lebih bengis dari yang pertama. Makan apa orang-orang kulit putih ini? Apa karena makan roti mereka lebih tinggi?
Mereka menghampiriku dan si lusuh berkata,
“Ha, saya kembali seperti yang sudah saya bilang karena kamu sudah berbohong.”
“Apa maksudmu?”
“Kamu pikir air mineral itu tidak memerlukan gulden untuk kau bayarkan?” katanya menunjuk air mineral yang tadi aku beli di bawah. Benar juga, aku lupa hal itu. Tapi karena sudah terlanjur basah aku lanjutkan saja.
“Memang tadi ada gulden, tapi sudah habis untuk beli air ini.”
Si bengis menundukkan badan dan mendekatkan wajah buruknya ke mukaku. Bau semacam tembakau, yang kemudian aku ketahui sebagai bau mariyuana, berhembus dari mulutnya.
“Memangnya kami bodoh? Karena kamu tidak mau memberi kami satu gulden untuk makan, bagaimana kalau kamu berikan saja koper ini?” katanya sambil merebut salah satu koperku.
Refleks aku pertahankan diri dan kutinju mukanya. Kudengar wanita dengan belanjaan banyak tadi berteriak tertahan. Si muka bengis membalas namun tidak kena, kutendang perutnya dan ia terjatuh. Sementara itu si lusuh mencekikku dari arah belakang. Posisi kami ada di bibir tangga. Dengan segera aku sikut mukanya, namun ia tidak melepaskan leherku. Baru setelah sikutan ke empat ia melepaskanku. Aku bingung apa yang akan aku lakukan karena tampaknya orang-orang lain yang hanya sedikit itu sudah pergi, hanya tinggal wanita tadi dengan pemuda di ujung sana. Wanita tersebut beranjak menjauh sementara si pemuda hanya melihat dari kejauhan.
Si bengis bangkit dan tampak ingin menyerang lagi. Posisi ku terjepit, di belakangku ada tangga. Aku mengelak ke samping dan terjatuh ke atas koperku, sementara kakiku masih sempat menjegal kaki si begis itu. Terdengar teriakan dan suara berdebam. Ternyata ia jatuh dan menggelinding sekitar 30 anak tangga ke bawah. Terdengar bunyi keras dan lalu sunyi. Si lusuh hanya melotot ke bawah melihat temannya jatuh. Ia tampaknya sedang berpikir antara menyerangku atau melihat kondisi temannya yang ada di bawah tidak bergerak. Namun segera datang dua orang, seorang polisi dan seorang bapak tua yang tadi terlihat membaca koran. Tampaknya bapak tadi melihat situasi yang tidak mengenakkan lalu mancari polisi dan beruntung menemukannnya dalam waktu singkat.
Si Lusuh tampak sejenak terpaku. Dan ketika ia hendak berlari, polisi tersebut sudah terlalu dekat sehingga dapat meringkusnya dengan mudah. Si Bapak tua tadi melihat kondisi si bengis.
Hij is dood.” (kurang lebih seperti itu) Aku tebak kira-kira artinya “Ia sudah mati.”
Aku dan si Lusuh diam terkaget-kaget. Dan segera setelah itu Si Lusuh berteriak-teriak panik dalam bahasa Belanda sambil menunjuk-nunjukkan tangan ke arahku.

Sebuah kereta datang. Itu kereta ke Arnhem yang aku tunggu. Wanita dengan belanjaan banyak tadi bergegas naik menghindari terlibatnya ia dalam situasi itu. Si Polisi menjawab Si Lusuh dan berpaling padaku dan bertanya dalam bahasa Belanda dan segera berganti dengan bahasa Inggris ketika tahu bahwa aku tidak bisa mengerti.
“Anak ini berkata bahwa kamu yang mendorong pemuda itu jatuh dari tangga, apa benar begitu?”
Kereta ke Arnhem itu tidak berhenti lama, segera terdengar peluit dan kereta itu berlalu. Tak ada wanita tadi yang bisa jadi saksi.
“Tentu tidak benar, mereka mencoba meminta uang dariku, dan ketika tidak aku beri, mereka mencoba merampas koper ini dariku. Aku orang asing di sini, jadi aku takut dan aku tak punya pilihan lain selain membiarkan mereka mengambil koperku, tapi entah kenapa, mereka lantas berebutan koperku yang besar. Mungkin karena mereka tidak mau kebagian koper yang kecil.”
Si Lusuh melongo mendengar penjelasanku, dan aku teruskan,
“Lalu setelah itu mereka saling adu jotos, dan si pemuda itu lantas jatuh terguling ke bawah, dan ketika itu bapak-bapak datang. Si Lusuh ini, seperti yang anda lihat, mencoba lari karenanya.”
“Bohong!” teriak si Lusuh panik. Ternyata mulutnya juga berbau mariyuana, yang kini dapat tercium oleh polisi itu.
“Kami memang meminta uang darinya, tapi ketika kami hendak merebut koper ini, ia melawan dan menjatuhkan si Geurts ke bawah!”

Aku melongo, semelongo-melongonya dan berkata,
“Bohong, aku tadi ketakutan dan diam saja, bagaimana mungkin aku melakukan itu, jelas-jelas hidungnya berdarah karena kau pukul dan wajahmu merah karena ia pukul. Dan kalian mendorong aku jatuh ke atas koper-koperku!”

Memang ketika bapak tua dan polisi itu datang, posisiku sedang terbaring di atas koper sementara Si Bengis terkapar di bawah tangga dan Si Lusuh mencoba lari. Situasi memihak padaku. Dan tampaknya kedua orang itu lebih percaya pada kata-kataku.
Si Lusuh berkata-kata panik, wajahnya pucat pasi. Akhirnya polisi itu berkata kepadaku,
“Maaf, menggangu perjalanan anda, tapi tampaknya anda, bapak ini dan Si Lusuh ini harus ikut saya ke kantor untuk kami proses.”

Kamipun pergi ke kantor polisi. Aku capek sekali dan takut. Seorang asing di negeri asing dan berurusan dengan kejadian yang tidak menyenangkan. Barang-barangku dititipkan di loker kantor polisi. Dan aku menghabiskan 4 jam berikutnya untuk tanya jawab dengan beberapa petugas. Mereka bertanya tentang detil kejadian, dari mana asalku, apa tujuanku ke negeri ini, siapa kontakku dan lain- lain. Tampaknya mereka lebih mempercayai kata-kataku, yang dikuatkan oleh bapak tua tadi (bagaimanapun juga, si bapak itu mencari polisi karena melihat aku dalam kesulitan), karena akhirnya salah seorang dari polisi itu berkata,
“Maafkan atas kejadian yang tidak menyenangkan ini, kami tahu anda cuma seorang pemuda yang datang jauh-jauh dari Indonesia untuk belajar di negeri ini, dan jatuh kepada situasi yang tidak menguntungkan. Kami juga sudah menghubungi kontak anda dan ia sudah mengkonfirmasi semua data tentang anda, dan ditambah keterangan dari bapak tua tadi. Oleh karena itu anda bisa pergi, sementara pemuda lusuh tadi kami tahan untuk proses selanjutnya.”
Ia menarik nafas, memandangi muka pucatku dengan simpati dan melanjutkan,
“Kontak anda, Corr van Damme, sudah tiba dari Arnhem untuk menjemput anda karena kami tidak ingin ada kejadian lainnya menimpa anda setelah ini, apalagi anda pasti sudah lelah. Namun kami akan butuh bantuan anda untuk bersaksi di pengadilan beberapa minggu lagi. Nanti kami akan menghubungi anda.”

Aku bernafas lega dan mengucapkan terima kasih sambil memastikan kesediaanku untuk bersaksi. Setelah itu aku dipertemukan dengan kontakku, seorang tengah baya dengan wajah menyenangkan. Kami lalu mengambil barang-barangku dan pergi ke Arnhem. Sepanjang perjalanan kami banyak berbicara, yang mana membuat aku semakin lelah walaupun aku merasa amat lega. Sesampainya di Arnhem aku diantar ke asrama, beramah-tamah dengan penghuninya, lalu pergi tidur. Ah, hari yang panjang.

***

Benar saja, dua minggu kemudian surat panggilan dari kepolisian datang melalui kontakku, si Corr. Ia lantas menemani aku ke Amsterdam untuk menjadi saksi dalam pengadilan si Lusuh. Aku berdebar-debar setengah mati, namun prose pengadilan berjalan lancar, keteranganku dipercaya semua orang, apalagi memang saat si bapak penolong dan polisi itu tiba posisiku sedang terjatuh di atas koper. Si Lusuh dengan muka frustasi lantas mengakui semua perbuatannya, bahwa ia mencoba memalak aku dan berkelahi dengan temannya sehingga mengakibatkan temannya jatuh dari tangga dan mati. Terus terang aku kaget mendengar pengakuan itu, tapi aku segera sadar bahwa itu hasil pekerjaan pengacaranya. Mungkin saja si pengacara juga tidak mempercayai keterangan kliennya sendiri dan menasehatinya untuk mengaku saja, dengan demikian hukumannya dapat lebih ringan.
Akhirnya dewan juri mengirim anak itu ke penjara remaja untuk 3 tahun lamanya, dengan pertimbangan bahwa ia masih berusia 17 tahun dan orangtuanya tidak mempunyai pekerjaan. Selain itu sebuah lembaga sosial di Amsterdam menjamin untuk mendampingi si Lusuh selama di penjara agar sekeluarnya nanti dapat lebih berguna bagi masyarakat. Begitu kurang lebih. Hmm..sistem sosial negara ini memang sudah jalan, sehingga mengurangi rasa bersalahku telah mengkambing-hitamkan anak itu. Tapi aku hanyalah seorang asing di negeri yang asing. Aku cuma mau belajar di sini tanpa mau terlibat kesulitan apapun. Jadi yah, terpaksa si Lusuh itu menelan perbuatannya karena telah berniat buruk pada seorang asing di negeri yang asing.
Selebihnya, masa studiku di negeri itu berlangsung dengan lancar dan tenang, walau sekali-kali perasaan bersalah melintas di pikiran seperti burung camar yang beterbangan di penghujung musim gugur itu. Ah, toh mereka hanya burung.

2 respons untuk ‘Cuma Khayalan

  1. Nurul Azky berkata:

    Judulnya sih emang “cuman khayalan”..tapi koq tampak nyata ya Quin…soalnya pertama kali aku ke Amsterdam dulu punya pengalaman yang sama, kecopetaaan…temenku siih, tapi kejadiannya di depan mataku

Tinggalkan Balasan ke Nurul Azky Batalkan balasan