Tidak ada kebahagiaan lebih besar bagi orangtua selain melihat anak-anaknya bahagia, tumbuh sehat dan menunjukkan potensi penuh mereka sebagai manusia. Rasanya kita rela bekerja keras dan melakukan apa saja demi kebahagiaan anak kita, kalau perlu menempuh berbagai macam resiko dan bahaya. Tindakan orangtua yang mau mengorbankan kebahagiannya sendiri demi kebahagiaan anak adalah semacam naluri yang diberikan alam supaya kehidupan di muka bumi ini terus berlangsung karena anak-anak suatu saat nanti akan menggantikan generasi orangtuanya yang akan bertambah tua dan hilang.
Namun apakah upaya orangtua itu cukup? Ada sebuah pepatah Afrika yang kemudian dipopulerkan oleh Hillary Clinton; “It takes a village to raise a child.” Yang artinya “dibutuhkan kerjasama yang baik dari orang satu desa untuk membesarkan seorang anak”. Keluarga tidaklah berdiri di dalam ekosistemnya sendiri melainkan hidup berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Pepatah ini dibantah oleh seorang politikus dari Partai Republik Amerika Serikat, Bob Dole, yang berpendapat bahwa membesarkan seorang anak hanya tergantung pada keluarga saja. Ia mengatakan ini dalam rangka mendorong agar masyarakat Amerika kembali ke tradisi keluarga yang lengkap, sehat dan tidak broken home.
Bob Dole mengatakan hal itu karena di Amerika kerap ditemui keluarga yang broken home, anak dibesarkan tanpa ayah atau tanpa ibu atau orangtuanya bercerai. Namun jika keluarganya lengkap, sehat dan bahagia apakah persoalan kemudian selesai? Boleh saja di rumah anak merasa aman dan bahagia namun pada gilirannya toh si anak harus berinteraksi dengan komunitasnya dan dengan dunia sekitarnya. Disinilah persoalan menanti. Menurut data Komnas Perlidungan Anak Indonesia, dari bulan Januari sampai dengan Oktober 2013 saja telah terjadi 2792 kasus kekerasan terhadap anak Indonesia. Dari sekian itu 730 diantaranya adalah kekerasan seksual. Dan ini hanyalah data yang dilaporkan sementara kasus-kasus yang tidak dilaporkan mungkin jumlahnya berlipat kalinya. Kekerasan yang terjadi pada anak beraneka ragam bentuknya, mulai dari penculikan, kejahatan seksual seperti pemerkosaan dan sodomi sampai kepada bullying atau penyiksaan oleh senior di sekolahnya.
Kekerasan seksual sungguh menjadi kejahatan yang mengerikan bukan hanya karena jumlahnya paling banyak dibanding kekerasan lainnya, namun juga karena ia merampas masa depan anak, meninggalkan trauma yang dalam dan sulit hilang. Orang tua bisa saja membangun surga yang aman bagi anaknya di rumah, namun kekuasaan orangtua ada batasnya. Ketika anaknya harus menempuh pendidikan maka ia mau tak mau harus mempercayakan anak tersebut kepada institusi pendidikan. Ketika anaknya bepergian mau tak mau ia harus menyerahkan anaknya kepada moda transportasi, entah itu transportasi publik yang tidak bersahabat, bis antar jemput sekolah ataupun kepada supir pribadi. Semuanya tetap mengandung resiko mengingat pelaku kejahatan seksual juga amat beragam, mulai dari seorang ayah tiri, guru atau orang dekat lainnya, kondektur bis antar jemput sekolah, petugas kebersihan di sekolah sampai kepada seorang asing yang ditemui di jalan. Bahkan ketika orangtua menyerahkan anaknya kepada institusi pendidikan paling mahal sekalipun resiko kejahatan seksual ternyata tetap bisa terjadi (ingat kasus kejahatan seksual anak yang terjadi di JIS baru-baru ini).
Kejahatan seksual bukan satu-satunya yang mengancam anak diluar keluarga. Pada usia sekolah anak-anak sangat dirugikan oleh tindak bullying, yang kerap terjadi di institusi pendidikan. Bullying merupakan sesuatu yang amat serius karena juga meninggalkan trauma yang dalam, membuat rendah diri dan seringkali juga menimbulkan luka fisik dan terkadang kematian (baru-baru ini anak kelas 5 SD meninggal karena dianiaya kakak kelasnya). Sekolah umumnya menganggap enteng kasus bullying dan tidak menanganinya secara serius sehingga berlangsung bertahun-tahun tanpa ada upaya pemecahan masalah. Pengalaman penulis dalam memberikan seminar anti-bullying di sejumlah sekolah, umumnya sebagian besar anak pernah menjadi korban bullying secara berulang. Ini berarti bullying sudah menjadi suatu tindak yang sistematis dan membudaya di institusi sekolah, namun kita jarang mendengar ada upaya serius dari pemerintah untuk menyetop bullying secara sistematis.
Selain itu sederet persoalan masih menanti anak-anak kita, mulai dari kurikulum yang berat dan tidak bersahabat (kurikulum Indonesia termasuk yang terberat karena membahas banyak subyek namun tidak esensial bagi perkembangan anak) sampai soal Ujian Nasional. Ujian Nasional sebetulnya sudah ditunda oleh Mahkamah Konstitusi namun pemerintah kita ndableg tetap menjalankannya, dengan alasan untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsa. Sudah hampir 10 tahun UN dijalankan toh kualitas pendidikan kita tidak bertambah maju: kualitas pendidikan Indonesia masih menempati rangking yang rendah. Education For All Global Monitoring Report 2012 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahunnya menempatkan pendidikan Indonesia di peringkat ke-64 dari 120 negara di dunia. Malah tingkat stres anak karena menghadapi UN bertambah. Pihak sekolah juga stres. Ada kebocoran soal dimana-mana. Soal UN diantar dan dijaga oleh polisi dengan persenjataan lengkap. Jelas UN menimbulkan perilaku tidak sehat tanpa hasil yang memadai.
Dari uraian diatas jelas bahwa memang usaha orangtua dan keluarga ada batasnya. Keamanan anak tidak bisa hanya diserahkan kepada keluarga saja. Ada sesuatu di luar sana yang turut menentukan nasib anak selain dari orang tua, yaitu Negara. Setiap orang, setiap keluarga hidup di dalam suatu ekosistem yang disebut negara dimana serangkaian aturan dibuat dan diterapkan. Aturan dan sumber daya yang dimiliki sebuah Negara memungkinkan menjangkau semua anak di Indonesia. Negara dengan kemampuannya mampu untuk mengambil tindakan untuk mengurangi bahkan menghapus kejahatan seksual pada anak, baik dengan cara pencegahan maupun dengan cara penegakan hukum. Pencegahan dilakukan dengan menyediakan transportasi untuk anak yang memadai, audit keamanan sekolah apakah memenuhi standar keamanan untuk anak, dan dengan aturan seleksi bagi pekerja yang berdekatan dengan anak. Penegakan hukum dapat dilakukan dengan mengubah paradigma aparat penegak hukum dalam kasus-kasus yang melibatkan anak, terutama kejahatan seksual sehingga tindakan cepat dan tepat dapat diambil.
Pembaca dapat menilai sendiri apakah tindakan yang diambil pemerintah selama ini cukup untuk mencegah semua kejahatan terhadap anak? Penulis sendiri berharap jika pemerintahan yang baru ini dapat memperbaiki sistem yang bolong demi perlindungan anak. Tentu bukan suatu kebetulan jika ada begitu banyak kasus kejahatan terhadap anak muncul ke media disaat pergantian pemerintahan seperti sekarang ini. Ini adalah suatu pesan yang kuat agar negara harus melakukan sesuatu demi anak Indonesia.
Selama Negara belum mampu melakukan tugasnya apakah itu berarti kita sebagai orangtua diam saja? Tentu tidak. Sebagai warga negara yang aktif kita dapat selalu memberikan masukan dan saran kepada pemerintah. Juga kepada lembaga-lembaga tempat dimana kita mempercayakan anak kita, seperti sekolah. Kita dapat memberikan masukan kepada sekolah tentang bagaimana mengembangkan sekolah yang aman untuk anak. Jangan segan untuk mengadukan kasus-kasus kejahatan terhadap anak. Kejahatan terhadap anak bukan suatu aib yang memalukan tapi sesuatu yang harus ditindak secara hukum. Kita patut memberikan apresiasi besar kepada orangtua korban kasus JIS sehingga kasus-kasus semacam ini bisa terkuat.
Kembali kepada pepatah afrika diatas, ternyata tidak hanya “It takes a village to raise a child,” namun “It takes a country to raise a child.”
- pernah dimuat di Majalah Esquire bulan Juni 2014